Sunday, December 02, 2012

Mencari Beasiswa lewat Kupon DataPrint



Sering beli isi ulang tinta DataPrint buat printer kamu? Jangan diambil refilnya terus dibuang gitu aja. Coba diliat lagi, ada kupon kan? Nah, itu kupon berharga yang bisa jadi golden ticket buat dapetin beasiswa dari DataPrint loh. Dibagi dua periode dalam setahun, untuk tahun ini, ada dua periode, Januari - Juni buat periode 1 dan Juli sampai Desember buat periode 2. Siapa aja yang boleh ikutan? Pelajar SMP-SMA dan Mahasiswa aktif D3 atau S1. Caranya? Coba buka web DataPrint ini, terus ikuti mekanisme selanjutnya. Gampang kok! Tanpa dipungut biaya lagi. Tinggal masukin kode kupon pembelian tinta, isi form, dan buat essay dengan tema yang sudah ditentukan tiap periodenya. Oh ya, buat yang gagal di periode 1 bisa coba lagi di periode 2 :)
Bentuk beasiswanya apa aja? Banyaaaak! Tiap periodenya, ada beasiswa @1.000.000 buat 50 peserta, @500.000 buat 50 peserta dan @250.000 buat 250 peserta. Masih ada tenggat waktu sedikit lagi nih, ayo coba beasiswa DataPrint bareng-bareng! Wish us luck! ;)

Tuesday, November 20, 2012

Preparing TWNP

      Menyiapkan, duduk, kerjasama, menuangkan pikiran masing-masing dan exclude apa yang udah jadi kesepakatan rapat, tetap sambil berdoa dan sigap dengan segala sesuatunya. Iya, memang itu yang seharusnya terjadi. Tapi? Oke, acara The World Needs Psychology adalah acara exhibition pertama dari Himapsi UB. Acara yang muluk-muluk kata banyak orang, tapi menurut saya acara ini perlu. Mengapa? Pertama, atas asas eksistansi jurusan kita di masyarakat Malang sendiri. Kedua, orang-orang kita, mahasiswa jurusan kita sudah waktunya menyelenggarakan acara besar yang menuntut sebuah kepanitiaan yang profesional.

      Pendapat saya pribadi? Oh tidak. Awal mula, saya memang terinspirasi dari anak kos saya, Indah CW. Dia salah satu angkatan 2010 arsitek UB yang waktu itu sempat mengadakan pameran di Mx juga. Saya pikir, kenapa tidak. Psikologi sudah menjadi salah satu kebutuhan, masyarakat sudah mulai melek, kalo perlu ilmu psikologi di setiap aspek kehidupan. Bahkan hal ini didukung dengan tingginya minat saat SNMPTN atau ujian masuk universitaas lainnya. Psikilogi sudah menjadi salah satu jurusan yang sedang naik daun. Saya lempar ide ini ke anak Humas. Ternyata responnya positif, dan terbentuklah kepanitiaan. 

      Saya pribadi merasa ada tanggung jawab yang besar juga, karena ide ini muncul dari saya. Menyiapkan, mendesain, mengexclude ide dari per seorangan dan dilempar ke teman-teman yang lain memang tidak semudah yang diharapkan. Daya tangkap, daya bayang, daya juang tiap individu memang berbeda-beda. Di sinilah saya merasa kecewa. Kecewa karena apa?

       Kecewa kepada diri saya sendiri yang ternyata belum melihat kondisi teman-teman untuk sebuah kepanitiaan yang besar seperti ini. Saya kecewa dengan tingginya bayangan dan ekspektasi saya pribadi akan acara ini. Ada banyak kepentingan, selain tugas kuliah yang hampir membunuh, juga mungkin tanggungan organisasi-organisasi lainnya. Atau memang minat teman-teman saya saja yang masih rendah? Atau hasrat se visi kita yang belum utuh betul? 

      Sekarang, H-4 dan belum apa-apa, menurut saya. Tetapi, niat tulisan saya ini bukan untuk menyindir atau menyinyir yang lain, bukan. Ini lebih ke bentuk refleksi ke diri saya pribadi. Apa yang sudah saya lakukan dari awal kepanitiaan ini terbentuk, apa sudah benar? Apa ada yang terlewat? Atau saya sendiri yang kurang observasi dan pengamatan? Atau apa ya? Mengapa masih ada dari panitia yang tidak menaruh prioritas acara ini di list ter penting dalam minggu ini? 

      Apapun yang terjadi, terlepas dari sukses tidaknya nanti. Atau kacaunya harapan awal saya nanti. Atau bagaimanapun akhirnya nanti, harapan saya cuma satu. Semoga dengan adanya acara ini, teman-teman saya, dan saya khususnya, mengalami sebuah proses pembelajaran yang bisa menuntun dan membuka mata kita lebih lebar, bahwa apapun yang sudah menjadi tanggungjawab kita, harus diperjuangkan sekuat tenaga. Menjadi profesional itu memang susah, dan mungkin kita sangat jauh dari kata itu, tetapi berusaha untuk menjadi dan mengarah kesana harus dipikirkan dari sekarang. Kehidupan di luar kampus lebih keras, kalau cuma ngomong saja, semua orang juga bisa. Tetapi, siapa yang bisa membuktikan omongannya itu yang luar biasa dan akan dicari orang. Talk Less Do More! All is Weel. Hope we are lucky!

Monday, November 19, 2012

Mamaku dan Alfamart

      Sebulan yang lalu, aku diajak Mama pergi silaturahmi ke beberapa rumah temannya. Acara silaturahmi ibu-ibu. Layaknya kumpulan ibu-ibu yang lain, ngobrol, menceritakan kegiatan dan perkembangan anak masing-masing, tuker-tukeran info, dari info resep rainbowcake kukus, sampe info les-lesan anak. Sambil sesekali menyeruput teh dan menikmati jajanan di toples. Menjelang sore, sampailah pembicaraan ke arah yang lebih serius. Teman Mama cerita bagaimana tenangnya dia, karena baru-baru ini dia beli waralaba Alfamart di dekat rumahnya.     

       “Enak Bu Fir, tinggal ngawasin sesekali, selebihnya, Alhamdulilaaah, uang SPP anak-anak ini jadi nggak deg-degan lagi “ cerita Beliau.
      “Apalagi ini kepercayaan suami ke saya, jadi saya juga nggak nganggur-nganggur banget di rumah. Ada aktifitas, tapi masih bisa ngurus anak. Hidup jadi sehat Bu! “ tambahnya.
      Mama mulai tertarik kayanya. Ia menegakkan badan, siap menyimak dengan serius.
      “Iya? Coba-coba mana kertas? Ayo coba itung-itungan Bu!” tantang Mama.
      Teman Mama itu berdiri, mengambil kertas dan mulai mencoret-coret dengan angka-angka. Aku ikut memperhatikan. Bisnis seperti ini selalu jadi topik bahasan yang menarik buat aku, apalagi buat Mama yang belakangan ini sibuk cari dan memutuskan bisnis sampingan.
      “Iya sih, aku juga hampir tiap hari ke Alfamart. Beli minuman adem, tambah tua gini, cepet banget ya dehidrasi. Kalo jauh-jauh males juga parkirnya, jadi ya emang paling enak ke Alfamart ya.”  kata Mama.
      “Lah iya Bu Fir, ini kan jaman praktis, kalo buat sehari-hari ya males juga jauh-jauh, pilihnya yang pasti-pasti aja, harga kepajang, ada pilihan, bisa milih. Pasti enaknya ya ke minimarket kan. Nah ini, kalo kita nggak peka ngeliat pasar, sayang banget kan.”  tambah teman Mama.
      Mama khusyuk memperhatikan, mencatat di notesnya sesekali, terkejut, ada semangat yang besar dan harapan yang besar pula, terlihat dari binar matanya. Bisnis minimarket, apalagi Alfamart, adalah hal yang paling diharapkan sama Mama. Sekarang, Mama bertemu orang yang dengan gamblangnya menjelaskan panjang lebar. Mama seperti bertemu dengan sosok kiriman Tuhan kayanya. Sudah beberapa kali Mama memintaku untuk membukakan internet dan mencari info tentang waralaba Alfamart. Mama pun sudah beberapa kali membaca ulang dan ulang, namun ia akan lebih yakin dan mantap jika ada orang yang sudah berpengalaman langsung dan bisa menceritakan kepadanya tentang bagaimana cara memulai, dan apa saja yang harus dipersiapkan, seperti itu.
      Mama membesarkan kita bertiga dengan penuh semangat dan pantang baginya untuk menyiapkan pendidikan yang setengah-setengah bagi kami. Namun ia juga menyadari, pendidikan adalah hal yang mahal di jaman sekarang. Gaji tiap bulannya tidak bisa membuat perasaannya tenang. Harus ada terobosan baru dalam karirnya, terlebih lagi untuk persiapannya menghadapi hari tua. Waralaba yang menjanjikan dan ia yakini mampu menjawab semua gundah gulananya salah satunya adalah Alfamart.


      Di jalan pulang, Mama membahas hal ini lagi. Ia bercertia banyak, tentang harapan dan ketakutannya. Harapan agar pendidikan adik-adikku terjamin, agar Sami dan Bika bisa masuk kuliah kedokteran, agar aku bisa langsung lanjut S2 setelah lulus tahun depan. Mama bercerita bahwa tabungan terbesarnya adalah anak-anaknya, aset pertama yang harus ia penuhi adalah pendidikan anak-anaknya. Mama menaruh harapan besar dengan rancangannya sore ini. Dengan obrolan hari ini. Dari senyumnya dan tatapan matanya, aku tau, ia berharap besar akan hal ini. Aku selalu mendoakan semoga Mama dapat jalan terbaik dan dimudahkan jalannya untuk mewujudkan mimpinya punya salah satu gerai Alfamart, Amin.



Monday, November 12, 2012

An Exhibition

A few days ago, i went to an exhibition called Sign and Mind by ISI Jogja held in Graha Cakrawala UM. Maybe ISI Jogja played along with Seni Rupa UM, em i dont know much, but i feel so happy when i saw the baliho, and ask RT to accompany me. 








I feel im so alive when i saw an artistic object and im so appreciate to everyone that want to pass thinking, concepting and making a creation. Art its beautiful. Art is a reflection. Art is a way to show our opinion, our feel without demo and keep calm.













For now, im in learning to make an exhibition in The World Needs Psychology, i think i must have a lot of reference and know much about art exhibition, because i know it never easy as we look. Need extra energy and time. We can!

Saturday, November 10, 2012

Mereka Bicara Tentang Cita-Cita

      Minggu pagi kemarin, agenda Psikologi Bersayap adalah "Apa Cita-Citamu?" Oh iya, yang belum tau apa itu Psikologi Bersayap, monggo buka link page facebooknya di sini. Buat pertemuan kali ini, saya datang ke panti asuhan di daerah Janti Malang, Panti Asuhan Al Ikhlas. Acara dibuka dengan pengenalan volunteer, terus dilanjut dengan permainan tebak profesi, adik-adik pantinya dibagi dua kelompok, mereka memeragakan dan menebak bergantian. 
      Mereka masih asyik tertawa-tawa, dan melontarkan jawaban-jawaban lucu selama games berlangsung. Adik-adik yang masih SD malah masih susah merubah kata kerja menjadi profesi, misalnya untuk soal dengan jawaban 'petani' masih ada yang menjawab 'itu..bertani..nanam padi..' atau untuk profesi 'pemahat' mereka masih berteriak 'melukis di patung, ituu.. em, mengrajin patung..' Ini memang kapasitas yang belum mencukupi atau bagaimana? Em, saya juga ndak tahu.
      Setelah games selesai, kita duduk melingkar, lalu volunteer menunjuk satu per satu anak untuk maju ke depan, bicara tentang cita-cita mereka. Untuk beberapa anak yang berani, mereka malah berebut minta giliran pertama untuk maju. "Ika mau jadi guru Kak, biar yang lain ikut pinter" "Putri juga mau jadi guru Kak, biar bisa mencerdaskan bangsa Indonesia!" Untuk yang ini saya menarik nafas agak lebar, bulu kuduk saya ikut merinding, sungguh si Putri dan Ika ini bicara setengah berteriak, sangat keras dan menampar.
      Selain Ika dan Putri, ada juga Arif, anak ini usianya 18 th, tapi dia masih duduk di kelas 5 SD. Dia sama sekali nggak bisa diam, bahkan untuk beberapa kondisi, dia terlihat tidak bisa memahami perintah dan mengikuti aturan. Kata Bapak pengasuk panti, IQ Arif sangat lemah, berkisar di angka 85. Ia masih di kelas 5 SD karena ia memang kapasitasnya masih belum mampu untuk naik di kelas 6 SD. Mau disekolahkan di sekolah khusus, nanggung katanya, mental Arif juga gampang down. Yah, terlepas dari siapa Arif, saya cukup takjub karena jawaban cita-citanya diluar dugaan saya sebelumnya. "Kalo aku, aku mau jadi itu Kak, yang 88 itu apa namanya, TNI ya? Pokoknya yang menjinakkan bom itu, ada 88 nya" Kami kompak setengah teriak, "Densus 88 Rif..." Iya itu! Aku mau jadi itu Kak, biar nggak ada bom!" 
      Itu cerita anak-anak yang berani teriak atau yang langsung maju ke depan. Selain mereka, masih ada beberapa yang harus ditanya satu persatu, bahkan setengah dipaksa buat bilang, apa cita-cita mereka. Ada anak cowok, badannya bongsor, tinggi, saya lupa namanya. Setelah dibujuk rayu beberapa menit, ia berani bicara. "Kalo aku, pokoknya aku mau jadi apa aja yang bisa buat orang tuaku bangga, pokoknya membahagiakan orang tua lah" lalu dia diam agak lama, kita juga diam, menunggu kata selanjutnya. Tetapi si anak ini tidak melanjutkan apa-apa lagi, matanya berkaca-kaca, trus mundur dan berdiri keluar. Perasaan haru dan rada melow ini juga menular ke adik-adik yang lain. 
      Volunteer langsung mengambil alih keadaan dengan membagi-bagikan snack yang sudah dipersiapkan, sambil menutup acara siang itu. Mereka bisa tersenyum dan bercanda lagi, jalan ke musholla untuk sholat Dhuhur berjamaah, terus makan bersama.
      Buat saya pribadi, bicara cita-cita memang rada rentan dan butuh 'em' yang banyak dan panjang. Mungkin bagi mereka atau bagi saya waktu seumuran mereka, ditanya cita-cita seperti ditanya kepengenan atau harapan biasa, seperti teriak aku mau permen atau aku mau coklat. Bahkan bisa diramalkan kalo hampir sebagian besar anak kecil kalo ditanya cita-cita, selalu bilang mau jadi dokter, kadang ditambahi dengan dokter anak, atau dokter gigi, atau yang lebih kreatif bisa bilang, dokter mata, bahkan dokter syaraf, hehe. Mereka bicara lepas, tanpa tau proses yang harus dilewati buat jadi dokter syaraf. 
      Andai kata pikiran saya tidak tumbuh secepat ini, saya masih berharap sekali, saat ditanya cita-cita, saya bisa dengan pedenya bilang, mau jadi designer, atau mau jadi editor majalah, atau mau jadi pengantin! Hehe, yang terakhir bukan cita-cita kayanya :p




       Tapi sayangnya, untuk seumuran 20 th, bukan pertanyaan "Emang apa sih cita-citamu?" yang menghampiri saya. Pertanyaan, "Emang maumu apa?" atau "Loh, emang nanti mau kerja apa?" bahkan "Kuliah ini, mau kerja ini? Kok nggak nyambung? Nggak ngerasa salah jurusan?" Atau pertanyaan ala Mama saya, "Nanti emang habis lulus S1 kamu mau ngapain? Yakin tuh?" Kenapa kata cita-cita tidak lagi ditanyakan ke saya ya? Apa ada batasan umur untuk tanya 'cita-cita'?

Friday, October 12, 2012

Teman Baru

(images from tumblr)
Perempuan itu tidak beranjak dari tadi pagi di depan laptopnya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard. Tadi malam, sepulang kerja, ia mendadak kesetanan lagi. Ada energi lagi buat menulis, ada rasa penasaran yang harus ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan yang terkumpul dimulai dari perasaan tidak nyaman dan hasrat tersembunyi untuk mulai mengenal dirinya lebih dalam lagi.
      “Kapan mulai menulis?”  Tak jarang pertanyaan itu terucap untuknya. Perempuan itu akan terdiam sebentar, lalu menjawab sambil berusaha tersenyum tenang. “ Saya mulai menulis saat sering merasa panas-dingin, dan satu-satunya obat adalah mencoba berdiskusi lebih dalam dengan diri saya sendiri, dan media terbaik yang saya rasakan kali ini adalah dengan cara menulis panjang lebar.”
      “Menulis apa? “ Pertanyaan kedua yang sudah ia pastikan akan terucap juga. “Em, menulis apa saja. Untuk kali ini, saya sedang menyelesaikan novel dramatik, dari pengamatan saya pribadi. Sudah 2 tahun ini saya berusaha melengkapi tiap babnya setiap malam” tambahnya. Perempuan itu mengumpulkan banyak hal, meriset dengan dalam apa-apa yang hendak ia tulis. Bahkan, tak jarang ia pergi ke suatu tempat yang sesuai dengan khayalannya, agar kalimat persuasif dan buai kata-katanya nanti  terdengar enak. Calon novel pertamanya ini ia rawat layaknya bayi, ia beri makan, dan ia amati setiap saat perkembangannya.
      Selain kemampuan menulis, setiap penulis juga merasa wajib untuk memberi ruh untuk tiap-tiap tulisannya. Khayalan dan setiap adegan yang ada di novelnya harus bisa terbayangkan dengan sejelas-jelasnya, layaknya menikmati sebuah film di kepala kita sendiri. Termasuk perempuan itu. Ia aktif sekali mengembangkan imajinasinya, tokoh-tokohnya ia biarkan berkembang apa adanya, namun tetap sesuai kontrol darinya. Sampai suatu saat, ia terhenti. Ia butuh untuk beristirahat sejenak sepertinya, setelah dua tahun lebih kencan dengan calon novelnya itu.
      Hingga malam sepulang kerja itu menghampiri, bertingkah kesetanan, ia merasa harus menulis lagi. Namun kali ini ia merasa agak aneh, energinya sangat besar. Lebih besar dari 7 tahun yang lalu saat ia mulai memilih menulis menjadi ritual wajib. Ternyata, 5 tahun terakhir ini cukup berdampak.
      Malam itu, ia memilih untuk melanjutkan novel pertamanya sebanyak dua paragraf. Ya, hanya dua paragraf. Lalu serta merta ia menghapusnya. Rupanya, ia bertemu dengan teman baru, teman yang siap menampung curhatnya setiap saat. Teman ini jauh lebih spesial dari halaman kosong Ms. Word yang butuh energi lebih untuk mulai mengisinya. Teman ini bisa ia jumpai kapan saja, baik dalam keadaan hasrat menulis kesetanan maupun tidak.
      Perkenalkan, namanya Twitter. Twitter menjadi sahabat baru perempuan itu. Situs microblogging yang ia temukan ketika mengumpulkan puing-puing semangat kesetanannya untuk mulai bercumbu dengan Ms.Word lagi. Ia berkenalan kira-kira setengah tahun terakhir ini, dan itu cukup buat Twitter memberi first impression yang sangat baik untuknya. Twitter, ia simpulkan mampu menjadi jawaban atas semua pertanyaan dan perenungan panjang selama 5 tahun terakhir. Ia mulai capek berjuang dan hidup bersama semua tokoh dipikirannya. Ia lebih memilih untuk menceritakan dirinya apa adanya, berdialog dengan dirinya setiap saat, dan membagikannya untuk semua orang di dunia ini. Rupanya, ia tak lagi introvert, twitter mampu menggiring perempuan itu menjadi sangat extrovert, walau hanya di depan media sosial. Di depan orang-orang tak tampak. Rupanya kita, termasuk perempuan itu sering lupa, kalau perubahan yang digadang-gadang, disebut setiap hari itu,dirapal di setiap doa,  tidak selalu ke arah yang baik-baik.  Tetapi, siapa yang bilang Twitter tidak jauh lebih baik dari Ms. Word yang polos itu?


Tuesday, September 18, 2012

Serial Nimo


      Rak bukunya sudah penuh, hampir roboh malah. Tapi dia sepertinya tidak pernah peduli, buat dia buku adalah segala-galanya, agak aneh mengingat umurnya yang baru 11 tahun. Dia sanggup berjam-jam diam di toko buku, bahkan ia hanya meminta hadiah ulang tahun berupa tambahan alokasi waktu buat menjelajah toko buku. Ketika anak seusianya masih asyik search ‘cara ngebunuh babi di Angry Bird Space’ ia malah search ‘harga kindle dalam rupiah’. Saat liburan kemarin, dia merengek minta ijin buat berkemah ria di teras rumah ditemani Bibi. Nggak tanggung-tanggung, dia minta ijin mendirikan tenda hello kittynya seminggu. Setelah makan malam bersama Mama dan Papanya, ia menyiapkan selimut, Froyo, iPod Nano, lotion dan teleskop kecil oleh-oleh Om Bary sepulang dari Jerman bulan kemarin. Satu lagi yang tidak boleh terlupa, buku. Saat itu dia kalap menghabiskan serial Hunger Games. Baginya, berkhayal menjadi astronot dan punya pabrik cemilan khusus astronot adalah hal terindah kedua setelah melahap buku.
      Namanya Nimo, lengkapnya Nimo Exacty. Dia anak tunggal dari pasangan bankir ternama ibukota. Sejak pertama kali lahir di dunia ini, ia tidak pernah sekali merengek karena susunya habis, atau karena pempersnya belum dibeli. Hidupnya bisa dibilang bergelimang harta. Untuk seorang anak tunggal, kasih sayang buat Nimo adalah harga mutlak. Apalagi setelah kejadian keguguran beberapa kali yang membuat orangtuanya menyerah untuk menghadiahkan Nimo adik. Sejak masuk playgroup, Pak Neman dan Bi Ira adalah teman setianya. Bukan, bukannya Nimo tidak pandai bergaul. Di sekolahnya, SD Bilingual yang megah itu, Nimo terkenal dengan Genk Sweet Smelling nya. Maklum, parfum yang biasa ada di tasnya adalah parfum kelas Body Shop yang baunya aduhai itu. Tetapi Abagi Nimo, hangout bareng genknya ala anak ABG kelas atas itu bukan aktivitas yang masuk dalam daftar listnya.
      Selain itu, melihat film yang diadaptasi dari buku adalah hal yang harus ia hindari. Mamanya sampai susah payah membujuknya nonton Laskar Pelangi yang sempat heboh berapa tahun kemarin. Nimo selalu ingin teriak marah ketika khayalannya hancur karena adegan di filmnya tidak sesuai apa yang ada di kepalanya. Perfeksionis? Atau cenderung keras kepala? Apa mungkin sifat seperti itu sudah bisa dideteksi dari ABG berusia 11 tahun?
      Nimo terbius untuk marathon melahap buku itu diawali dari virus sehat yang ditularkan oleh Omnya, Om Bary tadi. Nimo tau, dari keluarga Papanya, Om Bary adalah satu-satunya orang yang pekerjaannya jauh dari dunia perbankan. Om Bary berprofesi sebagai kolektor barang antik, ia punya beberapa outlet di Semarang dan Jakarta. Kedatangan Om Bary ke rumah Nimo selalu dinantinya sepanjang bulan. Dengan membawa barang-barang antik hasil perburuan dari seluruh penjuru negeri, Om Bary selalu punya tempat spesial buat Nimo, apalagi buku-buku aneh pemberiannya. Mulai dari buku proses pembangunan menara eiffel, sampai katalog parfum keluaran Rusia. Semuanya itu jadi vitamin terampuh buat Nimo kecil.
      Perfeksionis mungkin bisa diusulkan menjadi nama tengahnya, Nimo Perfecto Exacty. Dia selalu memastikan koleksi bukunya lengkap dan dalam keadaan prima setiap hari. Nimo punya kuas khusus membersihkan debu dari buku, sampai obat spray anti kutu buku. Enampuluh persen dinding kamar Nimo diisi dengan rak gantung dari kayu untuk memajang buku koleksinya, ia mengatur semua itu tanpa dibantu siapa-siapa kecuali Bi Ira.
      Semua orang pasti mengira hobi dan kegilaan Nimo akan buku dan astronot ini mendapat dukungan penuh dari orangtuanya. Kenyataannya tidak. Nimo butuh perjuangan khusus untuk itu semua. Jadwal rutinnya menyambangi toko buku adalah kegiatan gerilya bawah tanah yang dilakukannya sepulang sekolah bersama Bi Ira dan Pak Neman. Papanya tidak suka buku, dan Mamanya tidak suka tumpukan buku di kamarnya, sempurna. Uang untuk membeli buku ia dapatkan dari uang sakunya atau uang suprise dari Om Bary. Mamanya membuat ultimatum, ‘Mama mau mengantarkan Nimo kemanapun, mau membelikan Nimo apapun, asal bukan buku. Bukumu sudah terlalu banyak Nimo’.
      Sedangkan Nimo tidak pernah bosan dengan kegiatan apapun asal ada unsur buku di dalamnya. Membaca buku, menyampul buku, mengatur buku, membeli buku, membersihkan buku bahkan meniduri buku. Nimo selalu berpegang teguh selama 11 tahun ia hidup, 6 tahun terhitung saat ia mulai bisa membaca, bahwa ‘reading changed dreams into life and life into dreams’. Nimo percaya itu, ia akan membaca sebanyak yang ia mampu hingga ia bisa jadi astronot dan ia bermimpi suatu saat kelak ia akan menuliskan jalan hidupnya, serta pengalamannya menjadi astronot menjadi sebuah buku serial.