(images from tumblr)
Perempuan itu tidak beranjak dari tadi pagi di depan laptopnya. Jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard. Tadi malam, sepulang kerja, ia mendadak kesetanan lagi. Ada energi lagi buat menulis, ada rasa penasaran yang harus ia tuangkan dalam bentuk tulisan. Tulisan-tulisan yang terkumpul dimulai dari perasaan tidak nyaman dan hasrat tersembunyi untuk mulai mengenal dirinya lebih dalam lagi.
“Kapan mulai menulis?” Tak jarang pertanyaan itu terucap untuknya.
Perempuan itu akan terdiam sebentar, lalu menjawab sambil berusaha tersenyum
tenang. “ Saya mulai menulis saat sering merasa panas-dingin, dan satu-satunya
obat adalah mencoba berdiskusi lebih dalam dengan diri saya sendiri, dan media
terbaik yang saya rasakan kali ini adalah dengan cara menulis panjang lebar.”
“Menulis apa? “ Pertanyaan kedua
yang sudah ia pastikan akan terucap juga. “Em, menulis apa saja. Untuk kali
ini, saya sedang menyelesaikan novel dramatik, dari pengamatan saya pribadi. Sudah
2 tahun ini saya berusaha melengkapi tiap babnya setiap malam” tambahnya. Perempuan itu mengumpulkan banyak
hal, meriset dengan dalam apa-apa yang hendak ia tulis. Bahkan, tak jarang ia
pergi ke suatu tempat yang sesuai dengan khayalannya, agar kalimat persuasif
dan buai kata-katanya nanti terdengar enak.
Calon novel pertamanya ini ia rawat layaknya bayi, ia beri makan, dan ia amati
setiap saat perkembangannya.
Selain kemampuan menulis, setiap
penulis juga merasa wajib untuk memberi ruh untuk tiap-tiap tulisannya.
Khayalan dan setiap adegan yang ada di novelnya harus bisa terbayangkan dengan
sejelas-jelasnya, layaknya menikmati sebuah film di kepala kita sendiri.
Termasuk perempuan itu. Ia aktif sekali mengembangkan imajinasinya,
tokoh-tokohnya ia biarkan berkembang apa adanya, namun tetap sesuai kontrol
darinya. Sampai suatu saat, ia terhenti. Ia butuh untuk beristirahat sejenak sepertinya,
setelah dua tahun lebih kencan dengan calon novelnya itu.
Hingga malam sepulang kerja itu
menghampiri, bertingkah kesetanan, ia merasa harus menulis lagi. Namun kali ini
ia merasa agak aneh, energinya sangat besar. Lebih besar dari 7 tahun yang lalu
saat ia mulai memilih menulis menjadi ritual wajib. Ternyata, 5 tahun terakhir
ini cukup berdampak.
Malam itu, ia memilih untuk
melanjutkan novel pertamanya sebanyak dua paragraf. Ya, hanya dua paragraf.
Lalu serta merta ia menghapusnya. Rupanya, ia bertemu dengan teman baru, teman
yang siap menampung curhatnya setiap saat. Teman ini jauh lebih spesial dari
halaman kosong Ms. Word yang butuh energi lebih untuk mulai mengisinya. Teman
ini bisa ia jumpai kapan saja, baik dalam keadaan hasrat menulis kesetanan
maupun tidak.
Perkenalkan, namanya Twitter.
Twitter menjadi sahabat baru perempuan itu. Situs microblogging yang ia temukan
ketika mengumpulkan puing-puing semangat kesetanannya untuk mulai bercumbu
dengan Ms.Word lagi. Ia berkenalan kira-kira setengah tahun terakhir ini, dan
itu cukup buat Twitter memberi first impression yang sangat baik untuknya.
Twitter, ia simpulkan mampu menjadi jawaban atas semua pertanyaan dan
perenungan panjang selama 5 tahun terakhir. Ia mulai capek berjuang dan hidup
bersama semua tokoh dipikirannya. Ia lebih memilih untuk menceritakan dirinya
apa adanya, berdialog dengan dirinya setiap saat, dan membagikannya untuk semua
orang di dunia ini. Rupanya, ia tak lagi introvert, twitter mampu menggiring
perempuan itu menjadi sangat extrovert, walau hanya di depan media sosial. Di
depan orang-orang tak tampak. Rupanya kita, termasuk perempuan itu sering lupa,
kalau perubahan yang digadang-gadang, disebut setiap hari itu,dirapal di setiap
doa, tidak selalu ke arah yang
baik-baik. Tetapi, siapa yang bilang
Twitter tidak jauh lebih baik dari Ms. Word yang polos itu?
No comments:
Post a Comment