Saturday, November 10, 2012

Mereka Bicara Tentang Cita-Cita

      Minggu pagi kemarin, agenda Psikologi Bersayap adalah "Apa Cita-Citamu?" Oh iya, yang belum tau apa itu Psikologi Bersayap, monggo buka link page facebooknya di sini. Buat pertemuan kali ini, saya datang ke panti asuhan di daerah Janti Malang, Panti Asuhan Al Ikhlas. Acara dibuka dengan pengenalan volunteer, terus dilanjut dengan permainan tebak profesi, adik-adik pantinya dibagi dua kelompok, mereka memeragakan dan menebak bergantian. 
      Mereka masih asyik tertawa-tawa, dan melontarkan jawaban-jawaban lucu selama games berlangsung. Adik-adik yang masih SD malah masih susah merubah kata kerja menjadi profesi, misalnya untuk soal dengan jawaban 'petani' masih ada yang menjawab 'itu..bertani..nanam padi..' atau untuk profesi 'pemahat' mereka masih berteriak 'melukis di patung, ituu.. em, mengrajin patung..' Ini memang kapasitas yang belum mencukupi atau bagaimana? Em, saya juga ndak tahu.
      Setelah games selesai, kita duduk melingkar, lalu volunteer menunjuk satu per satu anak untuk maju ke depan, bicara tentang cita-cita mereka. Untuk beberapa anak yang berani, mereka malah berebut minta giliran pertama untuk maju. "Ika mau jadi guru Kak, biar yang lain ikut pinter" "Putri juga mau jadi guru Kak, biar bisa mencerdaskan bangsa Indonesia!" Untuk yang ini saya menarik nafas agak lebar, bulu kuduk saya ikut merinding, sungguh si Putri dan Ika ini bicara setengah berteriak, sangat keras dan menampar.
      Selain Ika dan Putri, ada juga Arif, anak ini usianya 18 th, tapi dia masih duduk di kelas 5 SD. Dia sama sekali nggak bisa diam, bahkan untuk beberapa kondisi, dia terlihat tidak bisa memahami perintah dan mengikuti aturan. Kata Bapak pengasuk panti, IQ Arif sangat lemah, berkisar di angka 85. Ia masih di kelas 5 SD karena ia memang kapasitasnya masih belum mampu untuk naik di kelas 6 SD. Mau disekolahkan di sekolah khusus, nanggung katanya, mental Arif juga gampang down. Yah, terlepas dari siapa Arif, saya cukup takjub karena jawaban cita-citanya diluar dugaan saya sebelumnya. "Kalo aku, aku mau jadi itu Kak, yang 88 itu apa namanya, TNI ya? Pokoknya yang menjinakkan bom itu, ada 88 nya" Kami kompak setengah teriak, "Densus 88 Rif..." Iya itu! Aku mau jadi itu Kak, biar nggak ada bom!" 
      Itu cerita anak-anak yang berani teriak atau yang langsung maju ke depan. Selain mereka, masih ada beberapa yang harus ditanya satu persatu, bahkan setengah dipaksa buat bilang, apa cita-cita mereka. Ada anak cowok, badannya bongsor, tinggi, saya lupa namanya. Setelah dibujuk rayu beberapa menit, ia berani bicara. "Kalo aku, pokoknya aku mau jadi apa aja yang bisa buat orang tuaku bangga, pokoknya membahagiakan orang tua lah" lalu dia diam agak lama, kita juga diam, menunggu kata selanjutnya. Tetapi si anak ini tidak melanjutkan apa-apa lagi, matanya berkaca-kaca, trus mundur dan berdiri keluar. Perasaan haru dan rada melow ini juga menular ke adik-adik yang lain. 
      Volunteer langsung mengambil alih keadaan dengan membagi-bagikan snack yang sudah dipersiapkan, sambil menutup acara siang itu. Mereka bisa tersenyum dan bercanda lagi, jalan ke musholla untuk sholat Dhuhur berjamaah, terus makan bersama.
      Buat saya pribadi, bicara cita-cita memang rada rentan dan butuh 'em' yang banyak dan panjang. Mungkin bagi mereka atau bagi saya waktu seumuran mereka, ditanya cita-cita seperti ditanya kepengenan atau harapan biasa, seperti teriak aku mau permen atau aku mau coklat. Bahkan bisa diramalkan kalo hampir sebagian besar anak kecil kalo ditanya cita-cita, selalu bilang mau jadi dokter, kadang ditambahi dengan dokter anak, atau dokter gigi, atau yang lebih kreatif bisa bilang, dokter mata, bahkan dokter syaraf, hehe. Mereka bicara lepas, tanpa tau proses yang harus dilewati buat jadi dokter syaraf. 
      Andai kata pikiran saya tidak tumbuh secepat ini, saya masih berharap sekali, saat ditanya cita-cita, saya bisa dengan pedenya bilang, mau jadi designer, atau mau jadi editor majalah, atau mau jadi pengantin! Hehe, yang terakhir bukan cita-cita kayanya :p




       Tapi sayangnya, untuk seumuran 20 th, bukan pertanyaan "Emang apa sih cita-citamu?" yang menghampiri saya. Pertanyaan, "Emang maumu apa?" atau "Loh, emang nanti mau kerja apa?" bahkan "Kuliah ini, mau kerja ini? Kok nggak nyambung? Nggak ngerasa salah jurusan?" Atau pertanyaan ala Mama saya, "Nanti emang habis lulus S1 kamu mau ngapain? Yakin tuh?" Kenapa kata cita-cita tidak lagi ditanyakan ke saya ya? Apa ada batasan umur untuk tanya 'cita-cita'?

No comments:

Post a Comment